Minggu, 30 Oktober 2011

MAKALAH : EVALUASI PAI

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pendidikan terjadi proses belajar mengajar yang sistematis, yang terdiri dari banyak komponen. Masing-masing komponen pengajaran tidak bersifat terpisah atau berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus berjalan secara teratur, saling bergantung dan berkesinambungan.
Proses belajar mengajar pada dasarnya adalah interaksi yang terjadi antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan pendidikan. Guru sebagai pengarah dan pembimbing, sedang siswa sebagai orang yang mengalami dan terlibat aktif untuk memperoleh perubahan yang terjadi pada diri siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar, maka guru bertugas melakukan suatu kegiatan yaitu penilaian atau evaluasi atas ketercapaian siswa dalam belajar.
Selain memiliki kemampuan untuk menyusun bahan pelajaran dan keterampilan menyajikan bahan untuk mengkondisikan keaktifan belajar siswa, guru diharuskan memiliki kemampuan mengevaluasi ketercapaian belajar siswa, karena evaluasi merupakan salah satu komponen penting dari kegiatan belajar mengajar.


BAB II
EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM
A.   Pengertian Evalusi pendidikan islam
Secara etimologi. Evaluasi berasal dari bahasa Inggris : Evaluation akar katanya Value yang berarti menilai atau harga[1]. Nilai dalam bahasa Arab disebut al-Qimah atau al-Taqdir[2]. Dengan demikian secara harfiah , evaluasi pendidikan al-Tagdir al-tarbawiy dapat diartikan sebagai penilaian dalam (bidang) pendidikan atau penilaian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan[3].
Secara terminologi evaluasi pendidikan dibagi atas beberapa pendapat yaitu sebagai berikut:
1.       Menurut Edwind Waudt, evaluasi mengandung pengertian suatu  tindakan atau proses dalam menentukan sesuatu[4].
2.      Menurut M.Chabib Thaha, evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan objek dangan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan[5].
3.      Menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan.
  1. Menurut Norman Gronlund, evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan keputusan sampai sejauh mana tujuan dicapai oleh siswa.
  2. Wrightstone dan kawan-kawan, evaluasi pendidikan adalah penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan siswa kearah tujuan-tujuan atau nilai-nilai yang telah ditetapkan di dalam kurikulum.[6]
Selanjutnya, Roestiyah dalam bukunya Masalah-masalah ilmu keguruan yang kemudian dikutip oleh Slameto, mendeskripsikan pengertian evaluasi sebagai berikut:
1)      Evaluasi adalah proses memahami atau memberi arti, mendapatkan dan mengkomunikasikan suatu informasi bagi petunjuk pihak-pihak pengambil keputusan.
2)      Evaluasi ialah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang bersangkutan dengan kapabilitas siswa.
3)      Evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk menilai seberapa jauh program telah berjalan seperti yang telah direncanakan.
4)      Evaluasi adalah suatu alat untuk menentukan apakah tujuan pendidikan dan apakah proses dalam pengembangan ilmu telah berada di jalan yang diharapkan.[7]

Jadi, dapat disimpulkan di dalam pendidikan islam evaluasi merupakan salah satu komponen dan sistem pendidikan islam yang harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai alat untuk mengukur beberhasilan atau target yang akan yang akan dicapai dalam proses pendidikan islam dan pembelajaran.


BAB III
TUJUAN DAN FUNGSI EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM
A.   Tujuan Evaluasi Pendidikan Islam
Tujuan evaluasi adalah mengetahui kadar/ukuran pemahaman anak didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan mengajak anak didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan. Selain itu program evaluasi bertujuan untuk mengetahui siapa diantara anak didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga yang lemah diberi perhatian khusus agar ia dapat mengejar kekurangannya.
Sasaran evaluasi tidak bertujuan mengevaluasi anak didik saja, tetapi juga bertujuan untuk mengevaluasi pendidik yaitu sejauh mana ia bersungguh-sugguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
Sedangkan menurut Muchtar Buchari M. Eb, mengemukakan, ada dua tujuan evaluasi:
1)      Untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik setelah menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu.
2)      Untuk mengetahui tingkat efisien metode pendidikan yang dipergunakan dalam jangka waktu tertentu.
Namun secara umum tujuan evaluasi itu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan evaluasi secara umum adalah:
·         Untuk mendapatkan data-data pembuktian tetang kemajuan siswa setelah mengikuti pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
·          Untuk mengetahui tingkat efektifitas metode yang digunakan guru dalam mengajar.
·         Untuk mengetahui efektivitas proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Sedangkan tujuan evaluasi secara khusus adalah:
·         Untuk memotivasi anak dalam belajar.
·         Untuk mencari faktor-faktor penyebab keberhasilan dan kegagalan siswa dalam mengikuti program Pendidikan.
·         Mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah ditetapkan.
·          mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami peserta didik dalam proses belajar,
sehingga dapat dilakukan diagnosis dan kemungkinan memberikan remedial
teaching
.
·         mengetahui efisiansi dan efektifitas strategi pembelajaran yang digunakan guru, baik yang menyangkut metode, media maupun sumber-sumber belajar.

B.   Fungsi Evaluasi Pendidikan Islam
Fungsi evaluasi adalah membantu anak didik agar ia dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar, serta memberi bantuan kepadanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya. Di samping itu fungsi evaluasi juga dapat membantu seorang pendidik dalam mempertimbangkan adeqvate (baik tidaknya) metode mengajar, serta membantu mempertimbangkan administrasinya.
Kalau dilihat prinsip yang terdapat didalam al-Qur’an dan praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, maka evaluasi berfungsi sebagai berikut:
a.       Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dihadapi.
b.      Untuk mengetahui sejauh mana atau sampai dimana hasil pendidikan wahyu yang telah disampaikan Rasulullah SAW, kepada ummatnya.
evaluasi dalam pendidikan Islam  berfungsi sebagai umpan balik (feed back) atau dikenal dengan istilah  muraja’ah terhadap kegiatan pendidikan. Umpan balik berguna untuk:
1)      Ishlah, yaitu perbaikan terhadap semua komponen pendidikan termasuk perbaikan perilaku, wawasan dan kebiasaan-kebiasaan peserta didik.
2)      Tazkiyah, yaitu penyucian terhadap semua komponen pendidikan, artinya melihat kembali program-program pendidikan yang dilakukan, apakah program tersebut penting atau tidak dalam kehidupan peserta didik. Apabila terdapat program yang harus dihilangkan dan dicarikan sublimasi yang cocok dengan program semula.
3)      Tajdid, yaitu memodrenisasi semua kegiatan pendidikan. Kegiatan yang tidak relevan baik untuk kepentingan internal maupun eksternal perlu diubah dan dicarikan penggantinya yang lebih baik. Dengan kegiatan ini, maka pendidikan dapat dimobilisasi dan didinamisasi untuk lebih maju.
4)      Ad-dakhil, yaitu masukan sebagai laporan bagi orang tua peserta didik berupa rapor, ijazah, sertifikat dan sebagainya[8].
Adapun Fungsi evaluasi secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
Ø  Secara psikologis, peserta didik perlu mengetahui prestasi belajarnya, sehingga ia merasakan kepuasan dan ketenangan.
Ø  Secara sosiologis,untuk  mengetahui apakah peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun ke masyarakat. Mampu dalam arti  dapat berkomunikasi dan beradaptasi dengan seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya.
Ø  secara didaktis-metodis, evaluasi berfungsi untuk membantu guru dalam menempatkan peserta didik pada kelompok tertentu  sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing.
Ø  untuk mengetahui kedudukan peserta didik diantara
teman-temannya, apakah ia termasuk anak yang pandai, sedang atau kurang.
Ø  untuk mengetahui taraf kesiapan peserta didik dalam menempuh
program pendidikannya.
Ø  untuk membantu guru dalam memberikan bimbingan dan seleksi, baik dalam rangka menentukan jenis pendidikan, jurusan maupun kenaikan tingkat/kelas.
Ø  Secara administratif, evaluasi berfungsi untuk memberikan laporan tentang kemajuan peserta didik kepada pemerintah, pimpinan/kepala sekolah, guru/instruktur, termasuk peserta didik itu sendiri.


BAB IV
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan evaluasi pendidikan islam itu sebagai berikut:
Ø  Evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen dan sistem pendidikan islam yang harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai alat untuk mengukur beberhasilan atau target yang akan yang akan dicapai dalam proses pendidikan islam dan pembelajaran.
Ø  Evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai penilaian dalam (bidang) pendidikan atau penilaian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan.
Ø  Yang bertujuan mengetahui kadar/ukuran pemahaman anak didik terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan mengajak anak didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan.
Ø  Sasaran evaluasi tidak bertujuan mengevaluasi anak didik saja, tetapi juga bertujuan untuk mengevaluasi pendidik yaitu sejauh mana ia bersungguh-sugguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
Ø  Dan juga berfungsi untuk membantu anak didik agar ia dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar, serta memberi bantuan kepadanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya.


DAFTAR PUSTAKA
Anas Sudion, Pengantar Evaluasi Pendidikan, PT. Grapindo Persada, Jakarta, 2005
Drs. M. Ngalim Purwanto,M.P,Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, PT. Remaja Rosdakarya Bandung, 2004
Drs. Slameto, Evaluasi Pendidikan, Bumi aksara,Jakarta , 2001
Edwind Wandt dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia, Jakarta, 2001
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2002
S.Wojowasito dan Tito Wasito W, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Hasta, Jakatra, 1980






[1]  S.Wojowasito dan Tito Wasito W, Kamus Lengkap Inggris Indonesia (Hasta , Jakatra, 1980) hlm., 267
[2]  Anas Sudion, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (PT. Grapindo Persada, Jakarta, 2005). hlm.,1
[3]  Ramayulis, Metodologi Pendidikan Islam, ( Kalam Mulia, Jakarta, 2002). hlm., 331
[4]  Edwind Wandt dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Kalam Mulia, Jakarta, 2008). hlm., 221
[5]  Ibid. hlm., 222
[6] Drs. M. Ngalim Purwanto,M.P,Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet Ke:12, hlm.,3
[7] Drs. Slameto, Evaluasi Pendidikan,(Jakarta: Bumi Aksara,2001), Cet Ke3, hlm.,6

[8] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Islam, ( Kalam Mulia, Jakarta, 2002). hlm.,210

Jumat, 27 Mei 2011

perkembangan jiwa

GANGGUAN PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
A.    Pengertian Jiwa Keagamaan
Didalam al-qur’an terdapat istilah-istilah yang dikaitkan dengan pengertian psikologi antara lain, nafs, ruh dan af’idah, disampaing masih banyak lagi istilah-istilah lain yang sedikit banyak memeliki hubungan dengan pengerian psikologi. Maka, ”Nafs” sering diterjemahkan sebagai ”Jiwa, diri, atau pribadi”. Al-qur’an memberi tingkatan nafs atau pribadi dalam tiga macam, yaitu:
   1. Nafsu al-amarah, yaitu pribadi yang cenderung pada kejahatan, jiwa yang cenderung mengikuti kebutuhan biologis, hawa nafsu belaka.
   2. Nafsu al-lawwamah, yaitu pribadi yang menyesali karena sering mengalami konflik batin. Antara kecenderungan mengikuti hawa nafsu, dengan kesadaran hati nurani mengikuti tuntunan ilahi. Ia akan menyesali dirinya sendiri, karena dalam perjuangannya menuju kebaikan masih sering dikalahkan hawa nafsunya.
   3. Nafsu al-mutmainnah, yaitu pribadi yang tenang dan matang karena tulus melaksanakan kewajiban seseuai kemampuan dan ridha menjauhi larangan, sehingga kejiwaannya berkembang selaras dengan fitrahnya.
Jiwa keagamaan sebenarnya merupakan wujud mental dari pribadi, yaitu sikap dan perilaku keagamaan yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian yang dalam proses perkembangannya bisa mengalami pasang surut.
Dalam perkembangan jiwa seseorang, pengalaman kehidupan beragama sedikit demi sedikit makin mantap sebagai unit yang otonom dalam keperibadiannya. Unit ini merupakan suatu organisasi yang disebut ”kesadaran beragama” sebagai suatu hasil peran fungsi kejiwaan terutama motivasi, emosi dan inteligensi. Motivasi berfungsi sebagai daya penggerak mengarahkan kehidupan mental. Emosi berfungsi melandasi dan mewarnai, sedangkan inteligensi yang mengorganisasi dan mempolakannya. Bagi seseorang yang memiliki kesadaran beragama yang matang, pengalaman kehidupan beragama yang terorganisasi tadi merupakan pusat kehidupan mental yang mewarnai keseluruhan aspek kepribadiannya. Kesadaran beragama merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar.
Meski kesadaran beragama itu melandasi berbagai aspek kehidupan mental dan terarah pada berbagai macam obyek, akan tetapi tetap merupakan suatu sistem yang terorganisasi sebagai bagian dari sistem mental seseorang. Jadi kedasaran beragama yang mantap ialah suatu disposisi dinamis dari sistem mental yang terbentuk melalui pengalaman serta diolah dalam kepribadian untuk mengadakan tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup, penyesuaian diri dalam bertingkah laku, dan itu merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti. Dengan demikian kesadaran beragama seseorang tak pernah mencapai kesempurnaan. Ia akan berusaha terus mencapai kepribadian yang diidealkan yang dalam bahasa al-qur’an mencapai tingkatan ”Nafsu al-mutmainnah” sebuah prestasi pribadi yang sangat tinggi dihadapan Allah yang dalam istilah agama yang lain disebut tingkatan ”Taqwa”.
Berbicara jiwa keagamaan dalam pribadi yang matang pada hakekatnya adalah berbicara tentang manusia sebagai ”khalifahtullah fil ardhi” yang dibekali tambahan hidayah yaitu akal dan agama sebagai suatu kesatuan hidayah Tuhan yang bersimbiosis dalam diri manusia, karena sebenarnya produk keduanya (agama dan akal) dalam banyak hal tak bisa dipisahkan meski dapat dibedakan. Apalagi jiwa keagamaan yang mantap dalam pribadi yang matang akan mampu membentuk mental attitude yang siap menghadapi segala bentuk penyakit fisik maupun psikis.
Jiwa keagamaan sebagai sistem mental kepribadian yang dinamis dan historik jelas hanya akan tumbah dalam pribadi yang matang yang dilukiskan agama sebagai Nafs al-mutmainnah yaitu pribadi yang tenang dan matang kerena telah mencapai tingkatan mental takwa, atau dalam tataran perilaku disebut ihsan yaitu tingkat ketulusan berbuat yang terbaik semata untuk mencari keridkaan Allah.
Secara teoritis, kepribadian yang matang memiliki ciri- ciri seperti di ungkapkan Gordon W. Allport antara lain:
    * Kemampuan mengembangkan kebutuhan psikologis, ruhaniah menuju pada pemuasan ideal, mampu mengendalikan hawa nafsu dengan menghargai norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
    * Kemampuan instruspeksi dan merefleksi diri sendiri, memandang diri sendiri secara obyektif untuk mendapatkan pemahaman tentang hidup dan kehidupan.
    * Memiliki falsafah hidup yang utuh, yaitu pandangan hidup yang terarah dan pola hidup yang terintegrasi.
Kematangan kepribadian yang didasari jiwa keagamaan akan menunjukkan kematangan sikap dalam menghadapi berbagai masalah, norma, dan nilai-nilai yang ada dimasyarakat, juga terbuka terhadap semua realitas, serta mempunyai arah tujuan yang jelas dalam cakrawala hidup. Dampak dari semua itu, aspek kejiwaannya terhindar dari sikap yang impulsif, egosentris dan fanatik buta, ia mengedepankan kebenaran dan toleran terhadap perbedaan.
Kepribadian yang didasari jiwa keagamaan akan terhidarkan dari ketidakstabilan jiwa yang terjadi bisa karena gangguan kesehatan badan, gangguan lingkungan sosial, atau karena situasi baru yang dihadapi individu yang dapat menggoncangkannya. Proses konflik psikis ini dapat membuat individu “sangat kuat rasa bencinya (higly disagreeable) yang dapat mengubah kestabilan mental emosional individu.
Imam ar-Razy menyatakan, al-amradhu er ruhaniyyah atau gangguan rohaniyah itu ialah segala hal yang tidak menuruti petunjuk agama, atau dalam arti lain imannya yang masih belum kuat. Senada dengan Sigmund Freud, ego seseorang akan merasa bangga kalau dia hidup atau bertabiat sebagai orang-orang yang baik (saleh), memikirkan dan melaksanakan yang baik-baik, dan merasa malu kepada diri sendiri jika dia dikalahkan oleh godaan-godaan (maksiat). Disinilah biasanya budaya buruk masyarakat yang terdapat dalam lingkungan memiliki peran yang negatif terhadap kepribadian seseorang. Artinya jiwa keagaamaan yang ada tidak serta merta selamanya stabil dalam diri seseorang, apalagi kebanyakan keimanan seseorang itu merupakan kondisi kejiwaan yang bisa bertambah dan berkurang, terutama bagi mereka yang masih tergolong tingkatan nafsu al-lawwamah.

Selasa, 03 Mei 2011

makalah jinayat

BAB II
FIQIH JINAYAT
PENGERTIAN
Secara etimologi jinayat berarti memetik, memotong, mengambil dan atau memungut. Sedangkan secara terminologi jinayat bermakna pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok orang dalam mengambil hak Allah, hak sesama manusia dan hak makhluk lainnya, yang atas perbuatannya dikehendaki ada pembalasan seimbang dunia akhirat dengan mendapat hukuman berat dari Allah.
FUNGSI DAN TUJUAN DITERAPKANNYA HUKUM
Tujuan diterapkannya hukum adalah mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (mengambil segala yang bermaslahat serta menolak segala yang merusak dalam rangka menuju keridhaan Allah sesuai dengan prinsip tauhid)
Ditinjau dari segi prioritas kepentingannya bagi kehidupan manusia, tujuan diterapkannya hukum terbagi menjadi lima, yaitu:
1. memelihara agama
2. memelihara jiwa
3. memelihara akal
4. memelihara keturunan dan kehormatan
5. memelihara harta
Sedangkan fungsi diterapkannya hukum adalah mencapai tujuan yang akan dituju.


MACAM-MACAM DAN BENTUK-BENTUK JINAYAT
1. Qishash
Pengertian : hukuman balasan yang seimbang bagi pelaku pembunuhan maupun perusakan anggota badan sesorang, yang dilakukan dengan sengaja.
Dasar hukum : Al Baqarah : 178, An Nisa’ : 93 dan beberapa hadits
يا يهاالذينءامنوا كتب عليكم القصاص في قتل...(البقرة: 178)
Syarat-syarat Qishash :
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal sehat
b. Pembunuh bukan orang tua dari orang yang dibunuh
c. Jenis pembunuhan adalah pembunuhan yang disengaja
d. Orang yang dibunuh terpelihara darahnya
e. Orang yang dibunuh sama derajatnya
f. Qishash dilakukan dalam hal yang sama
Hikmah hukum Qishash
a.memberikan pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kejahatan terhadap manusia
b.manusia akan merasa takut berbuat jahat pada orang lain
c.qishash dapat melindungi jiwa dan raga manusia
d.timbulnya ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat
2. Diyat (Denda)
Pengertian : denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukum bunuh.
Diyat ada dua macam, yaitu
a. Diyat Mughaladzah (denda berat), yaitu seratus ekor unta, dengan perincian: 30 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30 ekor unta betina, umur empat masuk lima tahun, 40 ekor unta betina yang sudah bunting.
b. Diyat Mukhaffafah (denda ringan), yaitu seratus ekor unta, tetapi dibagi lima, yaitu 20 ekor unta betina umur tiga tahun, 20 ekor unta jantan umur dua masuk tiga tahun, 20 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 20 ekor unta betina umur empat masuk lima tahun. Denda ini wajib dibayar oleh keluarga yang membunuh dalam masa tiga tahun, tiap-tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.
Hikmah dari Diyat ada tiga, yaitu:
a. mencegah kejahatan terhadap jiwa dan raga
b. obat pelipur lara korban
c. timbulnya ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat
3. Kifarat
Pengertian : tebusan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh syari’at Islam karena telah melakukan kesalahan atau pelanggaran yang diharamkan Allah.
Macam-macam kifarat ada dua, yaitu:
a. Kifarat karena pembunuhan, yaitu dengan memerdekakan hamba sahaya / berpuasa selama 2 bulan berturut-turut.
b. Kifarat karena melanggar sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian, memerdekakan 1 budak atau berpuasa 3 hari
4. Hudud
Pengertian : sanksi bagi orang yang melanggar hukum dengan dera / dipukul (jilid) atau dengan dilempari batu hingga mati (rajam)
Perbuatan yang dapat dikanakan hudud ada 4, yaitu:
a. Zina
b. Qadzaf (menuduh orang berbiat zina)
c. Minuman keras
d. Mencuri
5. Ta’zir
Pengertian : apabila seorang melakukan kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum atau tidak/belum memenuhi syarat membayar diyat. (hukuman yang tidak ditetapkan hukumnya dalam quran dan hadits yang bentuknya sebagai hukuman ringan)