Jumat, 27 Mei 2011

perkembangan jiwa

GANGGUAN PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
A.    Pengertian Jiwa Keagamaan
Didalam al-qur’an terdapat istilah-istilah yang dikaitkan dengan pengertian psikologi antara lain, nafs, ruh dan af’idah, disampaing masih banyak lagi istilah-istilah lain yang sedikit banyak memeliki hubungan dengan pengerian psikologi. Maka, ”Nafs” sering diterjemahkan sebagai ”Jiwa, diri, atau pribadi”. Al-qur’an memberi tingkatan nafs atau pribadi dalam tiga macam, yaitu:
   1. Nafsu al-amarah, yaitu pribadi yang cenderung pada kejahatan, jiwa yang cenderung mengikuti kebutuhan biologis, hawa nafsu belaka.
   2. Nafsu al-lawwamah, yaitu pribadi yang menyesali karena sering mengalami konflik batin. Antara kecenderungan mengikuti hawa nafsu, dengan kesadaran hati nurani mengikuti tuntunan ilahi. Ia akan menyesali dirinya sendiri, karena dalam perjuangannya menuju kebaikan masih sering dikalahkan hawa nafsunya.
   3. Nafsu al-mutmainnah, yaitu pribadi yang tenang dan matang karena tulus melaksanakan kewajiban seseuai kemampuan dan ridha menjauhi larangan, sehingga kejiwaannya berkembang selaras dengan fitrahnya.
Jiwa keagamaan sebenarnya merupakan wujud mental dari pribadi, yaitu sikap dan perilaku keagamaan yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian yang dalam proses perkembangannya bisa mengalami pasang surut.
Dalam perkembangan jiwa seseorang, pengalaman kehidupan beragama sedikit demi sedikit makin mantap sebagai unit yang otonom dalam keperibadiannya. Unit ini merupakan suatu organisasi yang disebut ”kesadaran beragama” sebagai suatu hasil peran fungsi kejiwaan terutama motivasi, emosi dan inteligensi. Motivasi berfungsi sebagai daya penggerak mengarahkan kehidupan mental. Emosi berfungsi melandasi dan mewarnai, sedangkan inteligensi yang mengorganisasi dan mempolakannya. Bagi seseorang yang memiliki kesadaran beragama yang matang, pengalaman kehidupan beragama yang terorganisasi tadi merupakan pusat kehidupan mental yang mewarnai keseluruhan aspek kepribadiannya. Kesadaran beragama merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar.
Meski kesadaran beragama itu melandasi berbagai aspek kehidupan mental dan terarah pada berbagai macam obyek, akan tetapi tetap merupakan suatu sistem yang terorganisasi sebagai bagian dari sistem mental seseorang. Jadi kedasaran beragama yang mantap ialah suatu disposisi dinamis dari sistem mental yang terbentuk melalui pengalaman serta diolah dalam kepribadian untuk mengadakan tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup, penyesuaian diri dalam bertingkah laku, dan itu merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti. Dengan demikian kesadaran beragama seseorang tak pernah mencapai kesempurnaan. Ia akan berusaha terus mencapai kepribadian yang diidealkan yang dalam bahasa al-qur’an mencapai tingkatan ”Nafsu al-mutmainnah” sebuah prestasi pribadi yang sangat tinggi dihadapan Allah yang dalam istilah agama yang lain disebut tingkatan ”Taqwa”.
Berbicara jiwa keagamaan dalam pribadi yang matang pada hakekatnya adalah berbicara tentang manusia sebagai ”khalifahtullah fil ardhi” yang dibekali tambahan hidayah yaitu akal dan agama sebagai suatu kesatuan hidayah Tuhan yang bersimbiosis dalam diri manusia, karena sebenarnya produk keduanya (agama dan akal) dalam banyak hal tak bisa dipisahkan meski dapat dibedakan. Apalagi jiwa keagamaan yang mantap dalam pribadi yang matang akan mampu membentuk mental attitude yang siap menghadapi segala bentuk penyakit fisik maupun psikis.
Jiwa keagamaan sebagai sistem mental kepribadian yang dinamis dan historik jelas hanya akan tumbah dalam pribadi yang matang yang dilukiskan agama sebagai Nafs al-mutmainnah yaitu pribadi yang tenang dan matang kerena telah mencapai tingkatan mental takwa, atau dalam tataran perilaku disebut ihsan yaitu tingkat ketulusan berbuat yang terbaik semata untuk mencari keridkaan Allah.
Secara teoritis, kepribadian yang matang memiliki ciri- ciri seperti di ungkapkan Gordon W. Allport antara lain:
    * Kemampuan mengembangkan kebutuhan psikologis, ruhaniah menuju pada pemuasan ideal, mampu mengendalikan hawa nafsu dengan menghargai norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
    * Kemampuan instruspeksi dan merefleksi diri sendiri, memandang diri sendiri secara obyektif untuk mendapatkan pemahaman tentang hidup dan kehidupan.
    * Memiliki falsafah hidup yang utuh, yaitu pandangan hidup yang terarah dan pola hidup yang terintegrasi.
Kematangan kepribadian yang didasari jiwa keagamaan akan menunjukkan kematangan sikap dalam menghadapi berbagai masalah, norma, dan nilai-nilai yang ada dimasyarakat, juga terbuka terhadap semua realitas, serta mempunyai arah tujuan yang jelas dalam cakrawala hidup. Dampak dari semua itu, aspek kejiwaannya terhindar dari sikap yang impulsif, egosentris dan fanatik buta, ia mengedepankan kebenaran dan toleran terhadap perbedaan.
Kepribadian yang didasari jiwa keagamaan akan terhidarkan dari ketidakstabilan jiwa yang terjadi bisa karena gangguan kesehatan badan, gangguan lingkungan sosial, atau karena situasi baru yang dihadapi individu yang dapat menggoncangkannya. Proses konflik psikis ini dapat membuat individu “sangat kuat rasa bencinya (higly disagreeable) yang dapat mengubah kestabilan mental emosional individu.
Imam ar-Razy menyatakan, al-amradhu er ruhaniyyah atau gangguan rohaniyah itu ialah segala hal yang tidak menuruti petunjuk agama, atau dalam arti lain imannya yang masih belum kuat. Senada dengan Sigmund Freud, ego seseorang akan merasa bangga kalau dia hidup atau bertabiat sebagai orang-orang yang baik (saleh), memikirkan dan melaksanakan yang baik-baik, dan merasa malu kepada diri sendiri jika dia dikalahkan oleh godaan-godaan (maksiat). Disinilah biasanya budaya buruk masyarakat yang terdapat dalam lingkungan memiliki peran yang negatif terhadap kepribadian seseorang. Artinya jiwa keagaamaan yang ada tidak serta merta selamanya stabil dalam diri seseorang, apalagi kebanyakan keimanan seseorang itu merupakan kondisi kejiwaan yang bisa bertambah dan berkurang, terutama bagi mereka yang masih tergolong tingkatan nafsu al-lawwamah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar